Dec 17, 2011

The Penderwicks: A Summer Tale of Four Sisters, Two Rabbits, and a Very Interesting BoyThe Penderwicks: A Summer Tale of Four Sisters, Two Rabbits, and a Very Interesting Boy by Jeanne Birdsall
My rating: 5 of 5 stars

Novel ini saya tamatkan dalam waktu dua hari. Bukan ingin menyombong, sungguh! Tapi novel ini benar-benar memikat saya dan membuat saya tak bisa melepaskannya.

Bercerita tentang keluarga Penderwick. Satu ayah dengan empat anak perempauan yang sedang menghabiskan masa liburan musim panas mereka di Arundel. Novel ini sangat menghibur juga medidik. Novel ini memang untuk anak-anak usia remaja. Namun saya yang sudah tidak bisa dikatakan remaja lagi benar-benar menikmati novel karangan Jeanne Birdsall ini.

Novel ini punya kesan klasik namun hangat dalam ceritanya. Mengingatkan saya dengan karya-karya Enid Blyton. Tapi Birdsall benar-benar memiliki kekuatan akan tulisannya. Saya merasakan perasaan nyaman dari tulisannya dan tidak butuh waktu lama untuk saya jatuh cinta dengan novel ini. Juga pada keluarga Penderwick.

View all my reviews

Oct 21, 2011

Meja dan Tukang Lap

Tak akan ada pembuka yang hebat untuk tulisan ini. Karena dia yang ada di dalam tulisan ini mungkin tak pernah merasa demikian. Termasuk aku yang membuatnya. Dia sama seperti aku, kau, mereka, siapapun yang ada di luar sana. Tak ada bedanya. Kita sama, manusia.

Tak bisa kutebak berapa usianya lelaki ini. Terlalu muda untuk kupanggil Bapak, namun juga rasanya tidak tepat untuk memanggilnya sekedar Mas atau Bang. Tapi tak apalah, tidak menjadi masalah cara memanggilnya. Toh ia sendiri tidak peduli mau dipanggil apa. Yang kutahu ia selalu ada di kantin di kampus tempatku menimba ilmu. Apa yang dia lakukan? Mengelap meja. Ya, pekerjaannya hanya mengelap meja. Semua meja di kantin tersebut. Tugasnya adalah membereskan semua meja yang sudah ditinggal oleh mahasiswa atau siapapun yang menggunakan meja tersebut. Bukan melayani pesanan makanan atau mengantarkannya atau menerima pembayaran atau yang lainnya.

Sangat sederhana pekerjaan ini. Sungguh! Kau hanya harus menyingkirkan semua piring atau gelas dan semua sampah yang ditinggalkan agar kemudian meja itu bisa ditempati lagi oleh orang lain yang datang kemudian. Membersihkannya dengan kain basah agar sisa-sisa makanan yang berceceran tidak menganggu kenyamanan pengguna berikutnya. Mudah bukan? Tidak sesulit bekerja di kantor, di penambangan, di kelurahan atau bahkan gedung DPR. Itu semua pekerjaan sulit. Tapi membersihkan meja? Siapapun bisa. Tapi menurutku, dialah ahlinya. Bukan karena semua meja yang dia bersihkan menjadi baru secara magis. Bukan karena makanan terasa lebih nikmat di atas meja yang dia lap. Bukan.

Entah bagaimana aku harus menjelaskannya, tapi dia seolah-olah menerima pekerjaannya secara total. Bukan dalam artian pasrah -mungkin saja, tapi aku tak tahu apa yang ada di pikirannya- tapi lebih seperti karena banyak yang membutuhkannya. Namun bukan si pengguna mejanya. Bukan mereka yang membutuhkan keberadaan si lelaki pengelap. Tapi mejanya! Ya, meja-meja itu yang membutuhkannya. Semuanya akan kotor dan tak nyaman untuk digunakan kalau tak ada yang membersihkannya. Karena itulah keberadaan dirinya menjadi penting. Karena meja-meja itu membutuhkannya.

Darimana aku tahu? Entahlah. Itu semua hanya ada di kepalaku. Aku tak pernah berbicara dengannya. Hanya sekadar ucapan terima kasih ketika dia dengan sigap datang dan membersihkan meja yang akan kududuki. Dia sendiri hanya menjawab seadanya. Yang ia lakukan tidak terpaksa, tapi juga tidak sukarela. Ia hanya harus melakukannya. Itu saja. Aku pernah mencoba memberinya uang. Bukan untuk apa-apa. Hanya uang kecil untuknya membeli rokok atau apapun yang ia mau sebagai bentuk terima kasihku karena telah membersihkan mejaku. Dan ia menolaknya. Bahkan melihat uangnya saja tak mau. Takut matanya dan segera pergi. Dan malu yang aku rasa saat itu. Malu karena aku tiba-tiba merasa seperti mencoba menyuapnya.

Ketika semua meja terisi penuh, ia hanya akan berjongkok di sudut kantin. Menunggu. Menunggu meja-meja itu membutuhkannya.



Jun 17, 2011

Jun 3, 2011

Jejak Kertas

Berdiri Ia di pinggir jalan raya yang luar biasa ramai. Berbagai kendaraan lalu lalang di depannya. Ada yang rodanya dua, empat, enam bahkan delapan. Acuh terhadap Ia yang dipinggir jalan. Pelan kepalanya menoleh ke kanan. Lalu kiri, juga pelan. Sesaat diam, lalu kembali melihat ke depan. Kacamatanya yang selalu turun Ia naikkan kembali ke hidungnya. Wajahnya tak berekspresi apa-apa. Tapi matanya berbicara sesuatu. Kebingungan.

Kedua tangannya tergantung lunglai. Berat karena gunting yang terus Ia genggam di kedua tangannya. Sesaat dipandanginya gunting di tangan kanannya. Untuk apa dan bagaimana ada di tangannya Ia sendiri tidak tahu. Apa untuk memotong? Apa yang harus Ia potong? Kenapa harus memotong? Untuk apa potongannya? Ia hanya semakin bingung.

Sampai akhirnya Ia berjalan. Meski tak tahu harus kemana. Dipinggir jalan Ia hanya mencoba melangkah. Mungkin nanti ada jawabnya. Gunting dan Ia sendiri.

Satu langkah dan beberapa kemudian, baru Ia menyadari suara aneh di belakangnya. Cepat Ia menoleh, namun tak ada seorangpun. Tapi ada yang menarik perhatiannya. Jejak kakinya. Warnanya merah. Tapi seperti kertas. Ya, jejak kakinya adalah kertas. Ia semakin bingung. Lalu semakin menjadi karena ternyata jejaknya panjang terus kebelakang. Ia baru menyadari bahwa ia tak menyadari jejaknya sendiri tadi. Saat ia berdiri sendiri.

Ia memutuskan berjalan memutar, mengikuti jejaknya sendiri yang merah dari kertas. Mungkin ada sesuatu disana. jejaknya berputar-putar, ada di jalanan panjang, di gang-gang sempit, di sekolah, di tempat ibadah, hingga tempat sampah. Tapi Ia tahu. itu jejaknya. Masih merah dan kertas. Berputar-putar lagi.

Dalam penyusurannya, ia mulai menyadari ada jejak-jejak lain. Beriringan dengan jejaknya yang merah. Semua jejaknya juga kertas. Tapi yang ini berwarna putih. Bersih. Punya siapa tanya Ia. Kadang muncul, kadang menghilang jejak putih. Ada beriringan atau tidak ada sama sekali. Nantilah Ia akan cari tahu. Jejaknya saja belum ada ujungnya. Masih berputar. Dan masih kertas merah.

Di sebuah pintu jejaknya berakhir. Warnanya putih. Hanya sebuah pintu. Tak ada apa-apa lagi di belakngnya. Ia menemukannya di sebuah jalan tanah basah yang kanan kirinya cuma lapangan luas berumput jarang. Jadi dari sini Ia datang? Jejaknya seperti menunjukkan demikian. Tapi apa benar? Takut didekatinya pintu putih itu. Takut sesuatu yang tidak baik dan jahat menerkamnya. Ia bingung. Tapi rasa penasaran Ia jauh lebih besar dari ketakutannya. Tak apalah. Ia mencoba.

Diputar gagangnya. Berharap tak ada apa-apa disana. Pintu putih mengayun terbuka dan sebuah pohon ada dibalik pintu. Ia heran, karena pintu putih ini hanya berdiri di jalanan ini sendirian. Tak ada apa-apa harusnya dibaliknya. Tapi Ia juga melihat ada pohon kecil yang muncul setelah pintu terayun. Ia hanya diam, tak tahu harus apa dan bagaimana.

Ditatapnya pohon kecil dalam pintu itu. Dan Ia sadar kini, pohon itu juga kertas. Sama seperti jejaknya yang merah. Seketika kemarahan meluap hebat dalam dadanya. Membuncah seperti hendak meledak dari seluruh tubuhnya. Kalap, Ia serang pohon kertas itu. Memukulnya, menendangnya, meludahinya. Ia tak sadar. Ia sendiri tak mengerti kenapa Ia marah. Ia hanya ingin marah. Marah terhadap phon kertas yang sama dengan jejaknya.

Dan Ia kini tahu untuk apa gunting di tangan kanannya. Diguntingnya dengan kasar pohon itu. Tiap tangkainya, batangnya, hingga akar-akarnya. Marah sejadi-jadinya Ia. Hingga pohon tadinya, hanya serpihan kertas kecil hasilnya. Terengah-engah Ia memperhatikan hasil kerjanya. Hancur semua pohon kertas itu. Ia puas, tapi juga sedih. Kenapa? Kenapa harus sedih sekarang? Ia yang bingung semakin bingung.

Lalu matanya menangis. Airnya deras dan terus mengalir membasahi wajahnya. Leher lalu tubuhnya. Dan ia terjatuh. Ringan. Tubuhnya melunak karena basah air matanya sendiri. Ternyata ia juga kertas.

Gunting di tangan kanannya hilang. Terjatuh mungkin. Ia mengangkat tangan kirinya. Masih ada gunting di genggamannya. Ia potong kaki kertasnya. Keduanya. Lalu badannya, kepalanya, semuanya. Tinggal tangannya yang tersisa.

Ia kini cuma sepihan basah. Tercampur dengan serpihan si pohon kertas. Lalu mereka tertiup angin. Hilang.

------------------------------------

Seseorang keluar dari pintu terbuka. Lunglai ia berjalan terus menjauh dari pintu. Kedua tangannya mengenggam gunting. Jejak langkahnya hitam.

May 17, 2011

Belum Sembahyang

Kami berlima. Memasuki sebuah restoran bernuansa Jepang dengan mata yang awas mengawasi semua sudut. Orang ke-enam adalah seorang anak kecil perempuan yang harus kami jaga. Sampai detik ini sebenarnya aku tak tahu siapa namanya.

Seperti dugaan kami, restoran tersebut sudah disusupi oleh para penjahat yang siap melakukan apa saja untuk mendapatkan anak perempuan yang kami jaga tersebut. Siapa dan apa latar belakang mereka juga aku tak tahu. Pastinya mereka jahat dan harus kalah.

Aku bertarung dengan tiga orang sekaligus. Yang pertama menggunakan sumpit berukuran besar, sedangkan yang kedua menggunakan sumpit berukuran sedang. Dan yang terakhir sumpit yang dipegangnya berukuran kecil. Aku melawan menggunakan garpu. Sengit pertarungan itu. Yang tersulit ternyata adalah mengalahkan si sumpit kecil. Dia paling lihai. Disumpitnya telingaku seperti dijewer, lalu kucolok matanya dengan garpuku. Bergumul kami menentukan siapa yang harus menang atau kalah. Akhirnya ada celah di selangkangannya, kutusukkan garpuku kesana dan dia mati. Menghilang lebih tepatnya. Entah kemana.

Seingatku kami sudah melarikan diri dari restoran tersebut. Dan akhirnya berada di sebuah garasi dengan beberapa kendaraan canggih di dalamnya. Juga senjata-senjata yang terlihat futuristik yang belum kulihat sebelumnya di dunia ini. Kami disambut seorang anak kecil. Namanya John kalau tak salah, John O' Connor. Dan pengawal setianya. Pria besar yang tak berekspresi wajahnya. Sekilas ia mirip seorang mantan Gubernur California di US sana. Yang katanya mantan aktor. Entahlah, aku lupa.

Dan seketika semuanya hilang. Aku duduk du sebuah kafe. Ada beberapa orang yang kukenal disana. Dan seharusnya mereka teman-temanku. Tapi tak ada yang kuingat namanya. Secangkir kopi dan kemudian secara tiba-tiba aku terbangun dan terduduk di sebuah tempat tidur. Ada ibuku yang sedang berdiri disampingku. Aku belum sembahyang shubuh katanya.

Jan 26, 2011

Lewat Tengah Malam

Tertawa
Tanpa terbahak
Menangis
Tanpa terisak
Bicara 
Tanpa suara

Malam masih kuputar
Dengan hitam sebagai panggungnya
Menari dan menyanyi aku disana
Dalam gelap

Sampai lewat tengah malam
Mati penontonku
Semua
Juga aku

Terpejam kini mataku
Bukan berarti tidur lelap
Ada panggung lain disana
Lebih ramai
Lebih hitam
Dikepalaku

Ayo datang


Jan 19, 2011

Sebentar Saja. Tak Apa.

Dan disinilah kita sekarang. Di tempat kita masing-masing. Berdiri, duduk atau berbaring disitulah kita. Melelahkan bukan? Ya, aku sendiri juga baru tahu kalau hidup ternyata sangat melelahkan. Sesaat kita yakin semuanya baik-baik saja dan akan terus begitu. Dan seperti yang kita tahu, yang datang berikutnya kadang tak sesuai dengan harapan kita. Ohh aku yakin kita semua tahu itu bukan? Berapa kali kau mengalaminya? Ya, aku sendiri juga muak dengan kodisi seperti itu.

Tapi coba berhenti sejenak. Tarik nafasmu dan keluarkan pelan-pelan. Pikirkan apa yang sudah kau lalui hingga ada disini. Sadar atau tidak, kau sudah melewatinya. Paling tidak, kau sedang berusaha melewatinya. Tidak mudah, aku tahu itu. Tapi memang tak pernah ada yang menjanjikan hidup akan selalu baik kepada kita. Dan jangan pernah mengharapkan hidup akan adil. Karena kadang kau tak akan mendapatkannya.

Apa aku terdengar pesimis? Tidak, sungguh. Ini bukan soal positif atau negatif. Optimis atau pesimis. Tidak ada hubungannya dengan itu. Orang bisa saja menjadi optimis selama hidupnya, tapi apa dia akan selalu beruntung? Apa dia akan selalu berada di atas dalam kehidupannya? Faktanya tidak. Aku sendiri menilai diriku adalah pribadi yang optimis. Tapi harus kuakui kadang melelahkan. Karena itu, sekali lagi ini bukan tentang menjadi positif atau negatif. Dan ini bukan tentang apa-apa.

Yang ingin kukatakan hanya inilah pengertianku. Aku tahu kita semua begitu lelah. Aku tahu, sungguh. Tapi bertahanlah. Aku tak akan menjanjikan apa-apa. Aku tak tahu ada pelangi atau tidak di ujung sana. Mungkin yang ada masih gelapnya jalan kita. Tapi sudahlah, jatuhlah kalau kau tak kuat berdiri. Menangis saja kalau kau memang tak tahan. Marah jika kau sudah benci. Lalu sudah. Lupakan.

Kita tak akan pergi kemana-mana.  Aku tahu lari kadang menyelesaikan. Sementara. Tapi percayalah, kita tak akan kemana-mana. Semuanya ada untuk kita hadapi. Larilah kalau kau mau sejauh mungkin. Tapi kembalilah jika kau sudah siap. Dan kau tahu apa yang harus kau lakukan kemudian. Tak perlu terburu-buru.

Berhentilah sejenak. Sebentar saja. Tak apa.