Berdiri Ia di pinggir jalan raya yang luar biasa ramai. Berbagai kendaraan lalu lalang di depannya. Ada yang rodanya dua, empat, enam bahkan delapan. Acuh terhadap Ia yang dipinggir jalan. Pelan kepalanya menoleh ke kanan. Lalu kiri, juga pelan. Sesaat diam, lalu kembali melihat ke depan. Kacamatanya yang selalu turun Ia naikkan kembali ke hidungnya. Wajahnya tak berekspresi apa-apa. Tapi matanya berbicara sesuatu. Kebingungan.
Kedua tangannya tergantung lunglai. Berat karena gunting yang terus Ia genggam di kedua tangannya. Sesaat dipandanginya gunting di tangan kanannya. Untuk apa dan bagaimana ada di tangannya Ia sendiri tidak tahu. Apa untuk memotong? Apa yang harus Ia potong? Kenapa harus memotong? Untuk apa potongannya? Ia hanya semakin bingung.
Sampai akhirnya Ia berjalan. Meski tak tahu harus kemana. Dipinggir jalan Ia hanya mencoba melangkah. Mungkin nanti ada jawabnya. Gunting dan Ia sendiri.
Satu langkah dan beberapa kemudian, baru Ia menyadari suara aneh di belakangnya. Cepat Ia menoleh, namun tak ada seorangpun. Tapi ada yang menarik perhatiannya. Jejak kakinya. Warnanya merah. Tapi seperti kertas. Ya, jejak kakinya adalah kertas. Ia semakin bingung. Lalu semakin menjadi karena ternyata jejaknya panjang terus kebelakang. Ia baru menyadari bahwa ia tak menyadari jejaknya sendiri tadi. Saat ia berdiri sendiri.
Ia memutuskan berjalan memutar, mengikuti jejaknya sendiri yang merah dari kertas. Mungkin ada sesuatu disana. jejaknya berputar-putar, ada di jalanan panjang, di gang-gang sempit, di sekolah, di tempat ibadah, hingga tempat sampah. Tapi Ia tahu. itu jejaknya. Masih merah dan kertas. Berputar-putar lagi.
Dalam penyusurannya, ia mulai menyadari ada jejak-jejak lain. Beriringan dengan jejaknya yang merah. Semua jejaknya juga kertas. Tapi yang ini berwarna putih. Bersih. Punya siapa tanya Ia. Kadang muncul, kadang menghilang jejak putih. Ada beriringan atau tidak ada sama sekali. Nantilah Ia akan cari tahu. Jejaknya saja belum ada ujungnya. Masih berputar. Dan masih kertas merah.
Di sebuah pintu jejaknya berakhir. Warnanya putih. Hanya sebuah pintu. Tak ada apa-apa lagi di belakngnya. Ia menemukannya di sebuah jalan tanah basah yang kanan kirinya cuma lapangan luas berumput jarang. Jadi dari sini Ia datang? Jejaknya seperti menunjukkan demikian. Tapi apa benar? Takut didekatinya pintu putih itu. Takut sesuatu yang tidak baik dan jahat menerkamnya. Ia bingung. Tapi rasa penasaran Ia jauh lebih besar dari ketakutannya. Tak apalah. Ia mencoba.
Diputar gagangnya. Berharap tak ada apa-apa disana. Pintu putih mengayun terbuka dan sebuah pohon ada dibalik pintu. Ia heran, karena pintu putih ini hanya berdiri di jalanan ini sendirian. Tak ada apa-apa harusnya dibaliknya. Tapi Ia juga melihat ada pohon kecil yang muncul setelah pintu terayun. Ia hanya diam, tak tahu harus apa dan bagaimana.
Ditatapnya pohon kecil dalam pintu itu. Dan Ia sadar kini, pohon itu juga kertas. Sama seperti jejaknya yang merah. Seketika kemarahan meluap hebat dalam dadanya. Membuncah seperti hendak meledak dari seluruh tubuhnya. Kalap, Ia serang pohon kertas itu. Memukulnya, menendangnya, meludahinya. Ia tak sadar. Ia sendiri tak mengerti kenapa Ia marah. Ia hanya ingin marah. Marah terhadap phon kertas yang sama dengan jejaknya.
Dan Ia kini tahu untuk apa gunting di tangan kanannya. Diguntingnya dengan kasar pohon itu. Tiap tangkainya, batangnya, hingga akar-akarnya. Marah sejadi-jadinya Ia. Hingga pohon tadinya, hanya serpihan kertas kecil hasilnya. Terengah-engah Ia memperhatikan hasil kerjanya. Hancur semua pohon kertas itu. Ia puas, tapi juga sedih. Kenapa? Kenapa harus sedih sekarang? Ia yang bingung semakin bingung.
Lalu matanya menangis. Airnya deras dan terus mengalir membasahi wajahnya. Leher lalu tubuhnya. Dan ia terjatuh. Ringan. Tubuhnya melunak karena basah air matanya sendiri. Ternyata ia juga kertas.
Gunting di tangan kanannya hilang. Terjatuh mungkin. Ia mengangkat tangan kirinya. Masih ada gunting di genggamannya. Ia potong kaki kertasnya. Keduanya. Lalu badannya, kepalanya, semuanya. Tinggal tangannya yang tersisa.
Ia kini cuma sepihan basah. Tercampur dengan serpihan si pohon kertas. Lalu mereka tertiup angin. Hilang.
------------------------------------
Seseorang keluar dari pintu terbuka. Lunglai ia berjalan terus menjauh dari pintu. Kedua tangannya mengenggam gunting. Jejak langkahnya hitam.